Selama ini, Luwu Utara dikenal sebagai kabupaten penghasil kakao terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan. Hanya saja, luas kebun kakao, yang semuanya merupakan kebun rakyat, terus berkurang. Tahun 2009, saat kakao jaya, luas kebun masih sekitar 56 ribu hektar. Tahun 2021 sudah berkurang sepertiga menjadi 38.4 ribu hektar (Data Statistik Perkebunan, 2021).
SFITAL – penelitian aksi yang dilaksanakan di Luwu Utara oleh ICRAF Indonesia bersama Rainforest Alliance dan Mars Incorporated menemukan bahwa pengembangan kakao di Luwu Utara juga ditantang oleh permasalahan ketersediaan bibit unggul, penanggulangan hama dan penyakit, perawatan kebun, juga dalam hal paska panen termasuk transportasi dan pemasaran.
Bekerjasama dengan pemerintah kabupaten, SFITAL berharap dapat memberikan kontribusi terhadap upaya mengembalikan kejayaan kakao Luwu Utara. Salah satu yang dilakukan adalah memperkuat praktik agroforestri kakao yang sudah diterapkan petani selama ini. Agroforestri kakao adalah padupadan tanaman kakao dan pepohonan serta tanaman lainnya dengan komposisi 30-80% kakao.
“Sebagian besar petani di sini sudah mengenal agroforestri kakao. Mereka menanam pohon buah-buahan di sela-sela kakao, bahkan aren dan pohon kayu-kayuan lain yang juga berfungsi sebagai penaung kakao. Agar praktik ini bisa menjadi lebih baik lagi, terutama dalam hal pemilihan jenis pohon dan pengaturan jarak tanam, SFITAL bekerjasama dengan penyuluh pertanian yang ada di Luwu Utara untuk memberikan penyuluhan kepada petani,” jelas Endri Martini, ahli agroforestri dari ICRAF Indonesia.
Untuk menunjang upaya tersebut, sejak pertengahan 2021 SFITAL mengembangkan kurikulum agroforestri kakao yang terdiri dari empat komponen: (1) perencanaan agroforestri kakao, (2) cara mengelola kebun kakao, (3) biji kakao: mutu, pengelolaan, dan paska panen, dan (4) agroforestri kakao sebagai bisnis. Kurikulum ini merupakan bagian dari strategi Peta Jalan Pembangunan Kakao Berkelanjutan yang disusun oleh kelompok kerja yang diketuai oleh Kepala Bappelitbangda Luwu Utara. Peta jalan tersebut berisi skenario pembangunan, strategi, intervensi, dan indikator untuk mewujudkan visi “Kakao Lestari, Rakyat Sejahtera.”
“Pemerintah menyambut baik adanya kurikulum sebagai pedoman bagi para penyuluh yang selama ini dikenal multi talenta atau menangani berbagai komoditas. Kurikulum ini akan sangat membantu mereka, terutama terkait hal-hal yang bersifat teknis,” kata Kepala Bappelitbangda, Alauddin Sukri, saat membuka acara diskusi penyempurnaan kurikulum yang diadakan di Masamba tanggal 26 Oktober 2022 dengan diikuti penyuluh pertanian lapangan, perwakilan dinas terkait, lembaga swadaya masyarakat, swasta, akademisi, petani dan pegiat kakao lainnya.
Dalam diskusi yang diadakan setelah pemaparan empat komponen kurikulum oleh Rainforest Alliance dan Mars Incorporated, beberapa peserta mengemukakan pendapatnya.
Irwan, penyuluh pertanian dari Dinas Pertanian, menggarisbawahi perlunya memasukkan materi mengenai kesuburan tanah ke dalam kurikulum.
“Terutama tentang ilmu tanah sebagai media tanam kakao. Para penyuluh perlu memperdalam materi ini. Saya perhatikan, kurikulum ini belum memberikan porsi yang cukup tentang hal ini,” jelas Irwan yang juga mengingatkan beratnya tantangan bagi penyuluh karena petani harus menunggu hingga beberapa tahun untuk bisa merasakan dampak dari pelajaran tentang praktik agroforestri kakao yang baik.
Salah satu peserta diskusi, Samsudin, berpesan agar pendampingan petani paska pelatihan juga perlu diperhatikan.
“Kalaupun sudah dilatih, tetapi tanpa pendampingan terus-menerus, petani tidak akan jalan. Yang juga perlu mendapat perhatian adalah faktor modal bagi petani untuk bisa menerapkan sistem agroforestri kakao yang baik.”
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Andi Djemma Palopo, Dr. Ir. Muhammad Yusuf Idris, SP., mengundang SFITAL dan peserta diskusi yang diadakan di Aula Lagaligo Komplek Kantor Bupati Luwu Utara tersebut untuk tidak segan datang berdiskusi dan berkonsultasi.
“Fakultas Pertanian memiliki dua jurusan, Agribisnis dan Agroteknologi, yang masing-masing juga sudah banyak mengembangkan ilmu dan praktik dalam bidang pertanian, terutama yang sesuai dengan kondisi lingkungan di Luwu Utara.”
Saat menutup diskusi yang waktunya diperpanjang hingga dua jam, Kepala Bappelitbangda yang dekat dengan urusan penyuluhan pertanian saat menjabat sebagai pimpinan di beberapa instansi pemerintah sebelumnya berpesan agar porsi praktik dalam kurikulum dapat diperbanyak.
“Teori praktik setidaknya 40:60 atau 30:70 persen karena petani kita akan lebih mudah memahami pelajaran baru melalui praktik langsung.”
Alauddin Sukri juga mendukung upaya SFITAL membangun banyak kebun belajar agroforestri kakao. “Di Balai Penyuluhan Pertanian di Sabbang Selatan, juga bisa dibuatkan kebun belajar.”
Untuk menindaklanjuti implementasi kurikulum agroforestri kakao, Kepala Bappelitbangda berencana akan berdiskusi dengan Kepala Dinas Pertanian dan Kepala Dinas Ketahanan Pangan.
“Kurikulum ini bisa kita jadikan sebagai suatu Keputusan Dinas atau Keputusan Bupati agar bisa dilaksanakan dengan outcome maupun output yang jelas. Untuk itu diperlukan pengembangan lebih jauh dan komprehensif,” ujar Kepala Bappelitbangda yang juga mendengar usulan pemberian sertifikasi kompetensi bagi penyuluh yang berpartisipasi mengawal pengembangan agroforestri kakao di Luwu Utara.