Cerita

Membangun Ketahanan Ekonomi Petani Kakao Melalui Agroforestri

CIFOR-ICRAF Indonesia meluncurkan inisiatif kolaboratif untuk memperkuat kapasitas petani kakao di Indonesia melalui pendekatan agroforestri, dengan fokus pada keberlanjutan lingkungan dan ketahanan ekonomi petani. Program riset-aksi ini, bagian dari Sustainable Farming in Tropical Asian Landscapes (SFITAL), diterapkan di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, yang merupakan salah satu sentra produksi kakao di Indonesia.

Menurut perkiraan Kementerian Pertanian, produksi kakao diprediksi menurun sebesar -0,16% per tahun hingga 2026. Penyebabnya termasuk pohon kakao yang menua, pengelolaan kebun yang kurang maksimal, dan dampak perubahan iklim. Untuk mengatasi tantangan ini, pendekatan agroforestri diintegrasikan ke dalam pengelolaan kakao. Sistem ini memadukan kakao dengan pohon naungan, yang tidak hanya memperbaiki ekosistem tetapi juga meningkatkan produktivitas kebun.

Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/BAPPENAS, Dr. Jarot Indarto, menyampaikan bahwa kolaborasi strategis multipihak ini selaras dengan tujuan nasional untuk mengembangkan pembangunan komoditas berkelanjutan berbasis yurisdiksi. Upaya peningkatan kapasitas petani kakao berkontribusi pada kepastian rantai pasok serta pengelolaan bentang lahan dan ekosistem secara berkelanjutan. Dengan dukungan yang komprehensif, petani diharapkan dapat mengelola kebun mereka dengan lebih baik, sehingga memberikan dampak positif tidak hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi peningkatan kesejahteraan mereka.

Program SFITAL, yang dimulai sejak tahun 2020, didanai oleh IFAD, sebuah organisasi yang selama dekade terakhir telah berinvestasi dan mendukung masyarakat pedesaan di sektor pertanian dan perikanan. Sebagai lembaga pelaksana utama program ini, ICRAF bersama mitra telah berhasil meningkatkan kapasitas lebih dari 2.148 petani kakao melalui berbagai kegiatan pelatihan. Selain itu, inisiatif READSI dengan Cocoa Doctor yang didukung oleh MARS telah melatih 160 petani lainnya.

Program SFITAL tidak hanya berfokus pada petani kakao di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, tetapi juga menjangkau petani kelapa sawit di Labura, Sumatera Utara. “Ini adalah satu-satunya kegiatan IFAD yang berkaitan dengan kelapa sawit, dan kami sangat bangga dengan capaian yang telah diperoleh. Hal ini menjadi bukti nyata dari komitmen kita untuk mendukung pembangunan pedesaan secara berkelanjutan. Kini saatnya untuk menyebarkan pembelajaran yang telah kita peroleh ke daerah-daerah lain di Indonesia,” ujar Yumi Sakata, mewakili IFAD Indonesia Country Director.

Peluncuran dokumen “Kurikulum Agroforestri Kakao” bagi petani dan penyuluh pada acara Seminar Nasional “Inisiatif Kolaboratif Peningkatan Kapasitas Petani Kakao Melalui Agroforestri”, yang diadakan di Jakarta pada 21 Agustus 2024, menjadi momentum penting dalam menyebarluaskan pembelajaran dari program SFITAL.

Kurikulum ini dirancang dengan struktur pelatihan yang sistematis, memberikan kesempatan bagi petani dan penyuluh untuk berbagi ilmu, belajar, dan berinovasi bersama dalam pengelolaan agroforestri kakao. Dokumen ini akan terus dikembangkan melalui berbagai inovasi untuk memaksimalkan manfaatnya, tidak hanya bagi lingkungan tetapi juga untuk meningkatkan kapasitas petani, penyuluh, dan pembangunan pertanian secara umum.

Peningkatan kapasitas petani menjadi kunci utama dalam mewujudkan kebun kakao yang produktif sekaligus ramah lingkungan, dan penerapan agroforestri menjadi solusi penting untuk mengatasi tantangan global, seperti rantai pasok komoditas yang tidak berkelanjutan, kemiskinan, dan ketidaksetaraan. Dr. Sonya Dewi, Direktur Asia CIFOR-ICRAF, menjelaskan bahwa sistem agroforestri kakao, yang mengintegrasikan pohon naungan dengan kakao, tidak hanya memperbaiki kualitas lingkungan tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi petani, terutama di tengah perubahan iklim. “Agroforestri kakao mendorong ketahanan kebun dan penghidupan petani, memberikan dampak ganda yang signifikan,” tambahnya.

Sementara itu, Dr. Muhammad Amin, Direktur Pelatihan Pertanian BPPSDMP, Kementerian Pertanian, menyoroti bahwa meskipun kebijakan penyuluhan di Indonesia masih berfokus pada tanaman pangan, kakao memiliki potensi besar untuk dimasukkan dalam agenda prioritas. Inovasi penyuluhan kolaboratif yang diinisiasi oleh SFITAL bersama lembaga non-pemerintah kini dipandang sebagai model potensial untuk diintegrasikan ke dalam program nasional. “Pendekatan ini dapat memperluas layanan penyuluhan, meningkatkan kapasitas petani, dan mengoptimalkan pengelolaan kebun kakao di tingkat kabupaten,” ujarnya.

Penyuluhan Agroforestri untuk Kakao Berkelanjutan: Tanggung Jawab Siapa?

Peran akademisi dalam penyuluhan, kontribusi sektor swasta dan mitra pembangunan untuk mendukung petani, serta kebijakan pemerintah yang dapat meningkatkan penerapan agroforestri kakao. Selain itu, dibahas juga bagaimana penyuluhan dapat dirancang agar lebih efektif, mudah diterima, dan diadopsi oleh petani.

Pemerintah, melalui Kementerian Pertanian, terus memainkan peran penting dalam mendorong pengembangan agroforestri kakao. Jamaluddin Al Afgani, S.Pd., MP, Kepala Balai Besar Pelatihan Pertanian Batangkaluku, Sulawesi Selatan, menjelaskan bahwa pemerintah menyediakan pelatihan, penyuluhan, dan bantuan teknis bagi petani sebagai upaya meningkatkan kapasitas mereka. Selain itu, kebijakan ini memberikan akses yang lebih luas kepada petani terhadap bibit unggul, teknologi ramah lingkungan, dan pasar yang lebih kompetitif. “Tujuannya adalah meningkatkan produktivitas kakao secara berkelanjutan sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan,” jelasnya.

Jamaluddin juga menekankan pentingnya membangun kolaborasi untuk mendukung keberlanjutan pertanian kakao. Program pelatihan bagi penyuluh menjadi salah satu strategi utama, di mana penyuluh diharapkan dapat menerapkan dan menyebarluaskan ilmu yang telah mereka peroleh kepada petani di lapangan.

“Kami berharap dapat terus memperkuat kolaborasi dengan ICRAF, Rainforest Alliance, MARS, dan mitra lainnya. Bersama, kami ingin mendorong keberlanjutan melalui inovasi, pembelajaran, dan pembinaan yang berkesinambungan,” tambah Jamaluddin.

Pendekatan kolaboratif ini menjadi kunci untuk menciptakan sistem agroforestri kakao yang tidak hanya mendukung produktivitas petani, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem untuk masa depan yang lebih baik.

Share :

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin