Pernah selama beberapa dekade kakao adalah primadona di Kabupaten Luwu Utara, perjalanannya jauh menembus pasar dunia. Komoditi ini memberi penghidupan lebih dari cukup untuk para petani, bahkan menyumbang pendapat asli daerah yang signifikan. Namun sejarah berkata lain.
Kombinasi banyak faktor termasuk penggunaan pengusir hama yang tidak terkendali, godaan keuntungan cepat yang menggiurkan dari komoditi lain, dan kondisi tanah yang makin rentan membuat kualitas kakao Luwu Utara, yang juga dikenal sebagai Bumi Lamaranginang, terjun bebas di pasar.
Ingatan akan kejayaan kakao banyak diungkapkan dalam pertemuan yang digelar bersama World Agroforestry (ICRAF) Indonesia, Rainforest Alliance, dan Badan Pengembangan dan Penelitian Pertanian Kabupaten Luwu Utara serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah setempat, pada Selasa, 6 Juli, 2021 di Hotel Bukit Indah Masamba dan secara daring dari Bogor, Jawa Barat.
Bukan sekedar bernostalgia mengenang masa kejayaan kakao, pertemuan bertajuk “Lokakarya Peta Jalan Kakao Berkelanjutan di Luwu Utara” ini bertujuan untuk mengumpulkan aspirasi dan rekomendasi solusi guna penyusunan masterplan dan peta jalan untuk kakao berkelanjutan.
Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara proyek penelitian yang dikemas dalam Sustainable Farming in Tropical Landscape (SFITAL) dengan Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani pada tanggal 16 Februari 2021.
SFITAL, merupakam program riset aksi yang diinisiasi oleh ICRAF Indonesia dan Rainforest Alliance, mendapat dukungan dari IFAD (International Fund for Agricultural Development) dan juga melibatkan sektor swasta MARS Incorporated. Pada pelaksanaannya, program riset-aksi ini dilakukan dengan bersama pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya di Kabupaten Luwu Utara, yang tergabung dalam Pokja Pembangunan Kakao Berkelanjutan.
SFITAL menjalankan kegiatan di dua negara Asia Tenggara yaitu Indonesia dan Filipina. Lokasi di Indonesia difokuskan di Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, untuk kelapa sawit dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan, untuk kakao.
Kepala Bappelitbangda Kabupaten Luwu Utara Ir Allaudin Sukri Msi, mengatakan bahwa potensi besar kakao benar adanya di wilayah Luwu Utara, karena 60-70 persen kakao untuk pasar ekspor pernah berasal dari hasil perkebunan di dataran Sulawesi.
Mengutip data BPS, Allaudin mengatakan Luwu Utara mampu memproduksi lebih dari 83.000 ton kakao dari lahan seluas 48.000. Secara umum sektor pertanian mampu berkontribusi pada pendapatan daerah sehingga penting sekali penyusunan roadmap berkelanjutan untuk memberi rekomendasi pembangunan hulu dan hilir.
“Kami berharap pengembangan kakao di Luwu Utara dapat mendukung produksi yang terintegrasi dan mampu beradaptasi pada perubahan iklim. Ini membutuhkan kolaborasi dan sinergi dari semua pihak atau dengan pendekatan pentahelix.”
Selain itu, menurut Allaudin, Luwu Utara memerlukan perbaikan karena produktivitas yang rendah dan kualitas produk yang belum memiliki daya saing serta posisi tawar petani yang masih rendah. Strategi pengembangan ke depan dengan upaya peningkatan produksi kakao, melalui peremajaan, penerapan norma budidaya baik, pemanfaatan teknologi, dan peningkatan nilai tambah kakao serta terintegrasi dengan komoditi lain, terutama dengan ternak.
“Sesuai dengan program prioritas pimpinan (Bupati Luwu Utara), yaitu ‘Kakao Lestari Rakyat Sejahtera’ harapan kami kita bisa memasukkan best agricultural practice, yang maju, ramah lingkungan, dan aman sehingga biodiversity terjaga dan kesejahteraan petani akan dirasakan.”
Program Kakao Lestari Rakyat Sejahtera sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Dr Betha Lusiana, Koordinator SFITAL Indonesia dari ICRAF, mengatakan rangkaian aksi penelitian ini bertujuan untuk mendukung Pemerintah Kabupaten Luwu Utara untuk memadukan program dan strategi pembangunan kakao ke dalam suatu rumusan rencana indukdan peta jalan.
“Kita berharap ada kesepakatan bersama dari perwakilan pihak yang terkait dengan pembangunan kakao berkelanjutan, jadi kita letakkan dalam konteks prioritas pembangunan daerah.”
Betha melihat perlunya transformasi praktik produksi, terutama pada produsen skala kecil sehingga dibutuhkan strategi yang mengikutsertakan kompleksitas tantangan pemasaran. Dan untuk memenuhi selera pasar, dibutuhkan kepatuhan pada standar kualitas produksi dan keamanan pangan.
“Tantangan ini dihadapi jutaan produsen skala kecil di dunia,” tambah Betha.
Peneliti Green Growth Planning and Policy Specialist dari ICRAF Indonesia, Feri Johana, mengatakan lokakarya ini adalah upaya koordinasi untuk mendapatkan gambaran kebijakan dan program/kegiatan pengembangan kakao di Luwu Utara saat ini dan yang akan datang, dengan membangun kesepakatan diantara para pemangku kepentingan dalam prioritas pembangunan daerah dan kepentingan dalam penyusunan peta jalan kakao berkelanjutan.
Selanjutnya dia berharap lokakarya juga menjadi ajang diskusi untuk menentukan tujuan dan indikator pembangunan kakao berkelanjutan di Luwu Utara dari aspek produksi, pemrosesan dan distribusi.
Pengajar Universitas Andi Djemma, Dr Idawati, mengatakan pemerintah kabupaten memiliki kebijakan dan perhatian luar biasa pada komoditas perkebunan, khususnya kakao. “Oleh karena itu diperlukan strategi berkelanjutan untuk mengembangkan kakao, bagaimana strategi untuk hulu dan hilir, pemerintah dan pihak swasta seperti PT Mars yang selalu mendampingi petani untuk penerapan teknologi budidaya hingga pemasaran,” kata Idawati.
Hasil penelitian 2017 dari berbagai institusi termasuk Kementerian Pertanian, 61,4% kebun kakao nasional berasal dari Kabupaten Luwu dan Luwu Utara. “Kita sudah mengalami berbagai masa kejayaan. Tetapi ada kecenderungan menurun disebabkan oleh praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan, penggunaan pestisida berlebihan dan dampak dari perubahan iklim.“
Banyak aspirasi terkumpul dari lokakarya, di antaranya adalah perihal penting untuk perbaikan sistem usaha tani kakao yang sehat, terjaminnya kesejahteraan dan kesehatan petani kakao, mewujudkan lingkungan yang lestari, mewujudkan keadilan sosial dan kesetaraan gender, transparansi rantai pasok, serta kelembagaan dan kebijakan.
Selain itu diharapkan ada strategi untuk memperbaiki produktivitas yang rendah, meningkatkan produk yang berkualitas dan memiliki daya saing, dan meningkatkan posisi tawar petani.