Cerita

Menimbang sertifikasi demi kelapa sawit berkelanjutan

Pepatah lama “bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh,” memang bukan sekadar kata-kata kosong tanpa makna.

Paling tidak buat H. Narno, ketua Forum Petani Sawit Mandiri, telah membuktikan bagaimana berserikat dengan sesama petani akan memperkuat upaya mereka dalam mengelola perkebunan. Eratnya hubungan sosial antarpetani tentunya dapat meningkatkan pendapatan mereka dan sekaligus kolektivitas dalam menjaga lingkungan hidup. Pak Narno juga menjabat sebagai grup manajer dari Asosiasi Petani Sawit Swadaya Amanah atau KUD Amanah.

Dengan beliau berbagi cerita dari Pelalawan, Riau tersebut, tentunya hal ini bisa dijadikan pembelajaran bagi petani di lokasi SFITAL.

Selain itu, salah satu manfaat yang diakuinya adalah ketika berkelompok, petani kelapa sawit mandiri mendapat dukungan, baik dari lembaga sosial masyarakat atau mitra perusahaan untuk mendapatkan sertifikasi untuk perkebunan dan produk yang mereka hasilkan, yang berupa fresh fruit bunches (FFB).

“Bagi petani mandiri, banyak keuntungan dengan bersertifikasi. Ada kepastian dalam penjualan produk ke perusahaan. Mendapatkan dukungan untuk menerapkan praktik pertanian yang baik (GAP), lalu juga mendapat peningkatan kapasitas baik di tingkat institusi dan petani. Kita juga mendapatkan lebih banyak akses untuk meningkatkan penjualan FFB dan luar biasa lagi adalah adanya kebersamaan antar petani. Kita bisa bersama-sama menjaga lingkungan hidup,” kata Pak Narno.

Dengan begitu banyak manfaat yang bisa diambil oleh petani mandiri dengan bersertifikasi, Pak Narno juga mengakui memang ada tantangan yang dihadapi oleh petani ketika ingin menuju sertifikasi. Menurutnya sosialisasi tentang sertifikasi yang minim membuat petani mandiri belum teryakinkan dengan manfaat besar yang bisa diperoleh, lalu keterbatasan anggaran dari petani untuk memulai proses pendaftaran sertifikasi juga menghambat niat bersertifikasi.

Peneliti senior tata kelola lanskap dan investasi ICRAF, Dr Beria Leimona, yang bertindak sebagai Principal Investigator proyek SFITAL, menyampaikan bahwa tujuan utama proyek riset aksi ini adalah untuk mengubah petani pekebun terutama dari komoditas kakao dan kelapa sawit agar mereka memiliki kemampuan menjadi agricultural entrepreneurs dan sekaligus agen lingkungan hidup.

Dalam penjelasannya Dr Leimona juga menyampaikan bahwa SFITAL memiliki 5 komponen untuk mendukung pembangungan komoditas berkelanjutan – yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara ekologi maupun sosial – serta dapat diterima di pasar domestik dan global. Potensi mengenai sertifikasi lanskap keberlanjutan di tingkat jurisdiksi yang didukung dengan peta jalan serta pemantauan dan evaluasi secara digital di tingkat kabupaten, akan digali, didisain dan dilaksanakan secara inklusif dengan pemangku kepentingan daerah. 

“Dari kegiatan SFITAL ini kita bisa melihat secara lebih luas apa komoditas sawit dan kakao yang berkelanjutan, kondisi atau keberadaan standar keberlanjutan yang bisa diterapkan secara luas dan meningkatkan kualitas standar-standar ini. Komponen SFITAL melingkupi penciptaan kondisi pemungkin bagi pembangunan komoditas berkelanjutan, ujicoba untuk mendapatkan model bisnis kakao agroforestri terbaik di lapang, disain skema insentif jasa ekosistem, dan pelibatan inklusif pemangku kepentingan dalam membangun peta jalan komoditas berkelanjutan di tingkat kabupaten. Komponen-komponen tersebut saling terkait, dengan harapan jangka panjang akan berhasil dengan adopsi di tingkat jurisdiksi serta diarusutamakan ke dalam RPJMD.”

Tri Padukan Purba, team manager Palm Oil dari Rainforest Alliance mengatakan RA telah melakukan analisis perbandingan standar dan inisiatif kelapa sawit untuk mempromosikan produksi komoditi yang berkelanjutan yaitu Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), International Sustainability and Carbon Certification (ISCC), Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan AFi. Ketiga standar sertifikasi (RSPO, ISCCP, dan ISPO) memiliki klaster persyaratan legal, GAP, dan perlindungan lingkungan. Ada juga klaster tentang hak dan kondisi pekerja serta perbaikan terus menerus dalam pengelolaan perkebunan.

“Namun ada perbedaan dari masing-masing standar sertifikasi. Perbedaan timbul karena adanya perbedaan tujuan masing-masing standarisasi, ISPO misalnya, hanya untuk memenuhi standar governance yang dibuat pemerintah Indonesia. Perbedaan tersebut menciptakan layers of compliance bagi petani swadaya terhadap standar-standar yang ditetapkan,” tambah beliau.

Turut juga berbagi pengalaman, Ir Dedi Junaedi MSc, Direktur Pengelohan dan Pemasaran Perkebunan Kementerian Pertanian, yang mengatakan pemerintah memandang perlu adanya penguatan regulasi kelapa sawit berkelanjutan. Peraturan Presiden No 44/2020 secara spesifik memperkuat beberapa hal termasuk Standard Operating Procedure (SOP) untuk standardisasi, registrasi pekebun dan perusahaan, audit hingga penerbitan sertifikatnya.

“Dalam waktu dekat akan terbit juga peraturan sertifikasi ISPO untuk derivatif produk dari Crude Palm Oil (CPO) hingga minyak goreng, jadi nanti bisa menyambung dengan standar-standar di tingkat perkebunan. Dalam peraturan baru tersebut unsur pengawasan adalah pemerintah daerah dalam hal ini gubernur hingga bupati,” jelas Dedi yang juga merupakan Ketua Sekretariat Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB).

Menjawab pertanyaan standar apa yang paling mudah dan apa yang paling sulit diterapkan, dari sisi prinsip dan kriteria kelapa sawit berkelanjutan, Manajer Smallholder Program Indonesia RSPO, Guntur Cahyo Prabowo berpendapat, jika dari sudut pandang kesulitan yang dihadapi petani, aspek pemenuhan legalitas dan aspek pembentukan kelompok yang menjadi prasyarat untuk mengikuti proses mendapatkan sertifikasi. Aset negara ini adalah jumlah total petani yang mencapai 2,500 hingga 3,000 petani, dari sekian banyak yang masuk sistem hanya 0.5 persen.

“Dua aspek awal yang menjadi skrining utama untuk masuk dalam proses sertifikasi atau tidak, yang pertama adalah harus dipastikan tidak ada sengketa dan lain sebagainya. Aspek kedua ada kelompok, kita semua mengetahui marak terbentuk kelompok-kelompok karbitan yang hanya menargetkan untuk mendapat insentif. Jadi proses awal ini critical.” Kata Guntur

“Ini tantangan terbesar, tidak punya teman (sesama petani), selama tidak ada teman, mereka ya hanya begini-begini saja. Secara kelembagaan mereka ingin masuk tetapi tidak ada organisasinya. Ini harus menjadi perhatian kita,” katanya.

Uki menambahkan, “Untuk mendorong petani swadaya masuk sertifikasi, harus kita dorong untuk berlembaga, kita berbagi tanggungjawab dengan pihak lain termasuk ada insentif, bantuan program dari pemerintah misalnya untuk Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) gratis.”

Berdasarkan pengalamannya H. Narno menambahkan dalam konteks lanskap harus bekerja sama dengan pemerintah desa, juga kebun plot tetap. Kalau mau bicara lebih besar, petani berkolaborasi dengan institusi di desa dan lembaga pengelola hutan desa misalnya, atau jika berdampingan dengan kawasan konservasi, dapat bekerja sama dengan Taman Nasional. Itu yang seharusnya mereka lakukan jika berkomitmen untuk bersertifikasi. Petani itu sudah punya budaya untuk perlindungan lingkungan, bukan datang dari kita yang di kota.

“Memang ada tantangan yang dihadapi petani untuk menuju sertifikasi. Masih kurangnya sosialisasi di lapangan dari pemerintah pada petani swadaya. Keterbatasan anggaran dari sisi petani karena dalam ISPO, misalnya tidak ada insentif dalam rekomendasinya. Kalau tidak berkolaborasi sulit untuk mendorong mereka bersertifikasi sehingga kata kunci untuk memastikan keberlanjutan sertifikasi ini adalah kolaborasi. Kolaborasi adalah kunci.” Tegasnya.

Para pakar ini berbagi pengalamannya pada acara “Konsultasi Ahli Standar Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia” yang diselenggarakan pada 4 Agustus, 2021, oleh SFITAL (Sustainable Farming in Tropical Asian Landscape), proyek riset aksi yang dikelola oleh World Agroforestry (ICRAF) Indonesia bersama dengan mitra kunci Rainforest Alliance. Dengan dukungan pembiayaan dari IFAD, proyek ini juga melibatkan pihak swasta MARS.

Riset aksi ini dilaksanakan di Indonesia dan Filipina. Di Indonesia, riset dilakukan untuk komoditas kakao (Luwu Utara) dan kelapa sawit (Aceh Tamiang).

Share :

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin